Selasa, 28 Februari 2017
Selasa, 21 Februari 2017
Pengembangan e-learning dalam Pembelajaran Kimia
Pengertian e-learning pada umumnya terfokus pada cakupan media atau teknologinya. E-learning menurut Gilbert & Jones dalam Surjono (2007) adalah suatu pengiriman materi pembelajaran melalui suatu media elektronik, seperti internet, intranet/ekstranet, satelite broadcast, audio/video, TV interaktif, CD-ROM dan computer based training (CBT). E-learning juga diartikan sebagai seluruh pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN atau Internet) untuk membantu interaksi dan penyampaian materi selama proses pembelajaran (Kumar, 2006). Urdan dan Weggen menyatakan e-learning sebagai suatu pengiriman materi melalui semua media elektronik, termasuk internet, intranet, siaran radio satelit, alat perekam audio/video, TV interaktif, dan CD-ROM (Anderson, 2005).
Pengertian e-learning berbeda dengan
pembelajaran secara online (online learning) dan pembelajaran jarak jauh
(distance learning). Online learning merupakan bagian
dari e-learning, hal ini seperti yang dinyatakan oleh Australian
National Training Authority bahwa e-learning merupakan
suatu konsep yang lebih luas dibandingkan online learning, yaitu
meliputi suatu rangkaian aplikasi dan proses-proses yang menggunakan semua
media elektronik untuk membuat pelatihan dan pendidikan vokasional menjadi
lebih fleksibel. Online learning merupakan suatu pembelajaran
yang menggunakan internet, intranet dan ekstranet, atau pembelajaran yang
menggunakan jaringan komputer yang terhubung secara langsung dan luas
cakupannya (global). Sedangkan distance learning, cakupannya lebih
luas dibandingkan e-learning, yaitu tidak hanya melalui media
elektronik tetapi bisa juga menggunakan media non-elektronik. Distance
learning lebih menekankan pada ketidakhadiran pendidik setiap
waktu. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan secara umum e-learning dapat
diartikan sebagai pembelajaran yang memanfaatkan atau menerapkan teknologi
informasi dan komunikasi. E-learning adalah kegiatan belajar yang menggunakan
internet yang dapat dikombinasikan dengan kegiatan tatap muka yang ada di
lembaga pendidikan.
Penerapan e-learning banyak variasinya,
karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang cepat. Surjono
(2007), menekankan penerapan e-learning pada pembelajaran
secara online dan dibagi menjadi dua yaitu sederhana dan terpadu.
Penerapan e-learning yang sederhana hanya berupa kumpulan bahan
pembelajaran yang dimasukkan ke dalam web server dan ditambah
dengan forum komunikasi melalui e-mail dan atau mailing
list (milist). Penerapan terpadu yaitu berisi berbagai bahan
pembelajaran yang dilengkapi dengan multimedia dan dipadukan dengan sistem
informasi akademik, evaluasi, komunikasi, diskusi, dan berbagai sarana
pendidikan lain, sehingga menjadi portal e-learning. Pembagian
tersebut di atas berdasarkan pada pengamatan dari berbagai sistem pembelajaran
berbasis web yang ada di internet. Nedelko (2008), menyatakan
ada tiga jenis format penerapan e-learning, yaitu:
1. Web Supported e-learning,
yaitu pembelajaran tetap dilakukan secara tatap muka dan didukung dengan
penggunaan website yang berisi rangkuman tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, tugas, dan tes singkat
2. Blended or mixed mode e-learning, yaitu sebagaian proses pembelajaran dilakukan secara tatap
muka dan sebagian lagi dilakukan secara online
3. Fully online e-learning format, yaitu seluruh proses pembelajaran dilakukan secara online
termasuk tatap muka antara pendidik dan peserta didik juga dilakukan secara
online yaitu dengan menggunakan teleconference.
Penerapan e-learning lebih banyak dimaknai sebagai
pembelajaran menggunakan teknologi jaringan (net) atau secara online.
Hal ini berkaitan dengan perkembangan TIK yang mengarah pada teknologi online.
TIK saat ini, lebih difokuskan untuk pengembangan networking (jaringan)
yang memungkinkan untuk mengirim, memperbaharui, dan berbagi informasi secara
cepat. Keberhasilan penerapan dari e-learning bergantung pada
beberapa faktor antara lain teknologi, materi pembelajaran dan karakteristik
dari peserta didik. Teknologi merupakan faktor pertama yang mempunyai peran
penting di dalam penerapan e-learning, karena jika teknologi
tidak mendukung maka sangat sulit untuk menerapkan e-learning,
minimal sekolah mempunyai komputer. Materi pembelajaran juga harus sesuai
dengan tujuan pembelajaran, dijabarkan secara jelas atau diberikan link ataupun
petunjuk sumber pembelajaran yang lain. Karaktersitik peserta didik juga sangat
dibutuhkan karena nilai utama di dalam e-learning adalah
kemandirianPengembangan E- learning mengenai Hidrokarbon
Pengembangan
bahan ajar berbasis e-learning dengan materi hidrokarbon dan minyak bumi ini
didasarkan pada model pengembangan yang direkomendasikan oleh Thiagarajan (1974),
yakni 4D-Model yang terdiri dari pembatasan (define), perencanaan (design),
pengembangan (develop), dan penyebarluasan (disseminate).
1.
Tahap
pendefinisian (define)
Tahap
pendefinisian (define) adalah untuk menentukan dan menegaskan kebutuhan-kebutuhan
pembelajaran. Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah: (1)
analisis ujung depan yang mengarah pada hasil akhir dari pengembangan yakni berupa
bahan ajar berbasis e-learning, (2) analisis siswa, langkah ini menetapkan
subyek pebelajar dan sasaran belajar siswa yaitu siswa kelas X semester 2
dengan materi pokok senyawa hidrokarbon dan minyak bumi dengan karakter siswa
yang telah mengenal internet, dan (3) perumusan indikator hasil belajar yang
dirumuskan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Analisis siswa dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) analisis tugas dengan mencari literature dan sumber belajar tentang
hidrokarbon dan minyak bumi dan (2) analisis konsep yang dilakukan dengan
mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan dipelajari.
2.
Tahap
perencanaan (design)
Tahap
perencanaan (design) meliputi tiga langkah yaitu: (1) penyusunan tes dengan membuat
soal yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman materi dan keberhasilan
siswa dalam memahami materi dalam bahan ajar, (2) pemilihan media untuk mendapatkan
media yang tepat sesuai dengan perkembangan era teknologi yang sedang berlangsung,
yaitu media internet, dan (3) perancangan awal yang meliputi membaca buku teks
yang relevan, menulis bahan ajar, adaptasi bahan ajar, konsultasi secara
intensif dengan dosen pembimbing.
3.
Tahap
pengembangan (develop)
Pada
tahap pengembangan (develop) langkah- langkah yang dilakukan adalah:
(1)
konsultasi dengan pembimbing yang bertujuan untuk merancang dan menyusun media
dan instrumen yang akan dipakai dalam penelitian,
(2)
validasi yang merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data tentang nilai yang
diperoleh dari validator,
(3)
analisis hasil validasi, hasil validasi dianalisis sesuai dengan penilaian,
saran, dan kritik dari validator,
(4)
revisi bahan ajar berbasis e-learning yang bertujuan untuk menyempurnakan bahan
ajar yang akan digunakan, dan
(5)
uji coba terbatas, tujuan uji coba ini hanya untuk mengetahui kelayakan dari
produk pengembangan yakni bahan ajar berbasis e-learning.
4.
Tahap
penyebarluasan (disseminate)
Tugas Terstruktur 1
1. Menurut Teori cognitive of multimedia learning bahwa ada 3 asumsi utama yang dijadikan acuan dalam merancang multimedia pembelajaran. jelaskan ke-3 asumsi tersebut dengan memberikan masing-masing contoh yang relevan untuk pembelajaran kimia!
jawab:
Multimedia adalah sajian informasi yang memanfaatkan lebih
dari satu medium. Dalam pengertian ini, buku ajar yang berisi gambar dan teks
dapat dikategorikan sebagai bahan ajar multimedia. Meskipun demikian, lazimnya
yang disebut bahan ajar multimedia adalah bahan ajar yang dalam penyajiannya
memanfaatkan rangsang terhadap indera penglihat dan indera pendengar. Istilah
multimedia pada mulanya berlaku untuk tayangan audio-visual yang menggunakan
perangkat penyaji audio-visual misalnya kaset video (video cassette
player/decoder), laser disc, VCD (video compact disc) player, DVD (digital
versatile disc) player. Saat ini, istilah multimedia lazim diberikan untuk
mendeskripsikan sajian bahan ajar yang menggunakan lebih dari satu media dan
bersifat interaktif. Di dalam sajian multimedia, yang umumnya menggunakan
perangkat komputer, diintegrasikan informasi dalam bentuk teks, gambar, video,
audio, dan animasi. Penggunaan komputer atau perangkat lain berbasis komputer
memungkinkan penayangan sajian informasi bersifat interaktif. Sekuen atau
runtutan jalannya informasi bergantung pada respon yang diberikan oleh pengguna
atau penikmat informasi.
Integrasi berbagai bentuk informasi dalam bahan ajar
multimedia berpotensi menimbulkan kejenuhan kognitif bagi penggunanya apabila
tidak dilakukan dengan hati-hati dan berpegang pada teori belajar yang sesuai.
Pada penayangan informasi melalui slide presentasi (misalnya PowerPoint,
Macromedia Flash, Corel Presentation), sering terjadi perancang
mengintegrasikan begitu saja tayangan slide lengkap dengan latar belakang musik
atau efek suara yang tidak sesuai dengan konteks tayangan. Maksud perancang
mungkin ingin menjadikan tayangan informasinya lebih ‘menarik’. Masalahnya, di
balik tayangan yang ‘menarik’ tersembunyi potensi munculnya kejenuhan kognitif
akibat sibuknya saluran informasi pada penikmat tayangan dalam menyalurkan dan
mengolah informasi. Artikel ini membahas potensi timbulnya kejenuhan kognitif
pada pengguna bahan ajar multimedia dan upaya untuk mengatasinya melalui
perancangan yang memperhatikan aspek beban kognitif.
Teori Kognitif Pembelajaran dengan Multimedia
Mayer
mengemukakan teori pembelajaran dengan berdasarkan tiga asumsi, yakni:
1.
Asumsi dual kanal, yang menyatakan
bahwa manusia menggunakan kanal pemrosesan informasi terpisah yakni untuk
informasi yang disajikan secara visual dan informasi yang disajikan secara auditif.
Pemrosesan informasi terjadi dalam tiga tahap. Pertama, informasi memasuki
sistem pemrosesan informasi baik melalui kanal visual maupun melalui kanal
auditif. Kedua, informasi-informasi ini kemudian diproses secara terpisah
tetapi bersamaan di dalam memori kerja (working memory), di mana isyarat
tutur (speech) yang bersifat auditif maupun gambar (termasuk di dalamnya
video) dipilih dan ditata. Kemudian, tahap ketiga, informasi dari kedua
kanal tersebut disatukan dan dikaitkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di dalam memori jangka panjang. Tahap ketiga inilah yang bertanggungjawab mengenai bagaimana informasi yang sama bisa diinterpretasi secara berbeda oleh masing-masing pembelajar. Penyebabnya adalah pengalaman belajar yang dimiliki oleh masing-masing pembelajar tidaklah sama.
kanal tersebut disatukan dan dikaitkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di dalam memori jangka panjang. Tahap ketiga inilah yang bertanggungjawab mengenai bagaimana informasi yang sama bisa diinterpretasi secara berbeda oleh masing-masing pembelajar. Penyebabnya adalah pengalaman belajar yang dimiliki oleh masing-masing pembelajar tidaklah sama.
2.
Asumsi keterbatasan kapasitas, yang
menyatakan adanya keterbatasan kemampuan manusia memproses informasi dalam
setiap kanal pada satu waktu. Dalam satu sesi presentasi, audiens hanya bisa
menyimpan beberapa informasi visual (gambar, video, diagram, dsb) dan beberapa
informasi tutur (auditif). Asumsi inilah yang mendasari riset dan teori
yang disebut teori beban kognitif (cognitive load theory). Meskipun
beban maksimal tiap individu bervariasi, beberapa penelitian menunjukkan bahawa
rata-rata manusia hanya mampu menyimpan 5-7 ‘potongan’ informasi saja pada satu
saat.
3.
Asumsi pemprosesan aktif, yang
menyatakan bahwa manusia secara aktif melakukan pemprosesan kognitif untuk
mengkonstruksi gambaran mental dari pengalaman-pengalamannya. Manusia tidak
seperti tape recorder yang secara
pasif merekam informasi
melainkan secara terus-menerus memilih, menata, dan mengintegrasikan informasi
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hasilnya adalah terciptanya model
mental dari informasi yang tersajikan. Ada tiga proses utama untuk pembelajaran
secara aktif ini, yakni: pemilihan bahan atau materi yang relevan, penataan
materi-materi terpilih, dan pengintegrasian materi-materi tersebut ke dalam
struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Proses ini terjadi di
dalam memori kerja yang terbatas kapasitasnya.
contoh media yang relevan dari ke-3 asumsi diatas untuk pembelajaran kimia adalah sseperti saya ambil materi mengenai unsur golongan alkali, media yang dipakai disini dapat berupa powerpoint untuk menampilkan gambar serta penjelasan dari unsur-unsur golongan alkali,serta di dalam powerpoint tersebut dapat kita tambahkan pula animasi serta vidio yang menampilkan perubahan warna unsur-unsur golongan alkali. dengan media seperti ini kita mendapati bahwa media ini dapat langsung menampilkan informasi secara visual serta informasi secara verbal
Mengikuti asumsi Mayer (Mayer R. E., 1989), Gambar 1 berikut
ini menunjukkan model bagaimana manusia belajar dalam lingkungan pembelajaran
multimedia. Model belajar ini mengasumsikan manusia memiliki dua kanal menuju
memori kerja. Satu kanal berasal dari indera pendengaran dan kanal yang lain
berasal dari indera penglihatan. Bahan ajar multimedia mungkin berisi gambar
dan kata-kata (baik dalam bentuk tekstual maupun tuturan). Gambar dan narasi
tekstual (printed word) masuk menuju sistem pemroses kognitif pembelajar
melalui indera penglihatan, sedangkan narasi tuturan (spoken words) masuk melalui
indera pendengaran. Pembelajar tidak menerima semua informasi yang disajikan
melainkan memilih dan menyaring sesuai minat dan kepentingannya.
Informasi-informasi yang terpilih lebih lanjut diproses dalam memori kerja
pembelajar. Memori kerja ini memiliki keterbatasan dalam hal menyimpan dan
memanipulasi informasi di setiap kanal. Dalam memori kerja ini, pembelajar
secara mental mengorganisasikan gambar-gambar terpilih kedalam model piktorial
dan beberapa tuturan ke dalam model verbal. Kedua jenis informasi ini dipadukan
dengan informasi yang telah dimiliki pembelajar dari memori jangka panjang yang
merupakan gudang penyimpanan pengetahuan pembelajar.
2. Jelaskan bagaimana teori dual coding dapat di adaptasi dalam menyiapkan suatu pembelajaran kimia!
jawab:
Aktivitas berpikir dimulai ketika sistem sensory memory menerima rangsangan dari lingkungan, baik berupa rangsangan verbal maupun rangsangan nonverbal. Hubungan-hubungan representatif (representational connection) terbentuk untuk menemukan channel yang sesuai dengan rangsangan yang diterima. Dalam channel verbal, representasi dibentuk secara urut dan logis, sedangkan dalam channel nonverbal, representasi dibentuk secara holistik. Sebagai contoh, mata, hidung, dan mulut dapat dipandang secara terpisah, tetapi dapat juga dipandang sebagai bagian dari wajah. Representasi informasi yang diproses melalui channel verbal disebut logogen sedangkan representasi informasi yang diproses melalui channel nonverbal disebut imagen (lihat Gambar).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Paivio dan Bagget tahun 1989 dan Kozma tahun 1991, mengindikasikan bahwa dengan memilih perpaduan media yang tepat, kegiatan belajar dari seseorang dapat ditingkatkan (Beacham, 2002; Dede, 2000; Hogue, (?)). Sebagai contoh, informasi yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata (verbal) dan ilustrasi yang relevan memiliki kecenderungan lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada informasi yang menggunakan teks saja, suara saja, perpaduan teks dan suara saja, atau ilustrasi saja.
Menurut teori Dual Coding yang dikemukakan oleh Paivio, kedua channel pemrosesan informasi tersebut tidak ada yang lebih dominan. Namun demikian, Carlson, Chandler, dan Sweller tahun 2003 dalam (Ma, (?)) telah melakukan sebuah riset untuk melihat apakah pembelajaran yang dilakukan melalui diagram atau teks akan membantu kegiatan belajar. Carlson dan kawan-kawan mengasumsikan bahwa karena diagram lebih lengkap dibandingkan teks, dan dengan diagram seseorang mampu menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lainnya, maka orang yang belajar melalui diagram akan lebih berprestasi dibandingkan dengan orang yang belajar dengan menggunakan teks saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk bahan belajar yang memiliki tingkat interaktivitas tinggi, kelompok yang belajar dengan menggunakan diagram memiliki prestasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya belajar dengan teks. Untuk bahan belajar yang tidak memiliki tingkat interaktivitas yang tinggi, kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan prestasi yang signifikan.
Sebagai tambahan kesimpulan dari teori dual coding ini jika dikaitkan dengan bagaimana seseorang memroses suatu informasi baru, dapat dinyatakan bahwa teori ini mendukung pendapat yang menyatakan seseorang belajar dengan cara menghubungkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior knowledge). Peneliti berpendapat bahwa seorang tenaga pemasaran yang memiliki masa kerja lebih lama juga memiliki prior knowledge yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki masa kerja lebih pendek, sehingga dapat diharapkan bahwa para tenaga pemasaran yang memiliki masa kerja lebih lama akan lebih mudah memahami informasi baru yang disampaikan.
Teori Dual Coding juga menyiratkan bahwa seseorang akan belajar lebih baik ketika media belajar yang digunakan merupakan perpaduan yang tepat dari channel verbal dan nonverbal (Najjar, 1995). Sejalan dengan pernyataan tersebut, peneliti berpendapat bahwa ketika media belajar yang digunakan merupakan gabungan dari beberapa media maka kedua channel pemrosesan informasi (verbal dan nonverbal) dimungkinkan untuk bekerja secara paralel atau bersama-sama, yang berdampak pada kemudahan informasi yang disampaikan terserap oleh pembelajar.
jadi dapat di simpulkan bahwa teori dual coding ini dapat di terapkan dalam pembelajaran kimia karena teori dual coding menggunakan channel verbal
seperti teks dan suara, danchannel visual (nonverbal image)
seperti diagram, gambar, dan animasi. dalam pembelajaran kimia terdapat cukup banyak materi yang dapat di pakai menggunakan teori dual coding ini, seperti materi asam basa dimana kita dapat menggunakan media lab virtual,sehingga lebih memudahkan peserta didik dalam memproses informasi yang kita sajikan
Langganan:
Postingan (Atom)